Gambar

Gambar

Sabtu, 15 Maret 2014

Belajar Bersama: Sejarah Teori Ekonomi: Sosialisme Sebelum Marxisme...

Belajar Bersama: Sejarah Teori Ekonomi: Sosialisme Sebelum Marxisme...: Pemikiran Sosialisme 1.         Sosialisme Sebelum Marxisme A.        Pengertian Sosialisme Pada awalnya “sosialisme” dimaksudkan unt...

Sejarah Teori Ekonomi: Sosialisme Sebelum Marxisme

Pemikiran Sosialisme
1.        Sosialisme Sebelum Marxisme
A.       Pengertian Sosialisme
Pada awalnya “sosialisme” dimaksudkan untuk menunjukkan sistem – sistem pemlikan dan pemanfaatan sumber – sumber produksi secara kolektif. Dengan definisi itu, sosialisme bisa mencakup asosiasi – asosiasi kooperatif maupun pemilikan dan pengoperasian oleh pemerintah.
Kelompok pertama (sosialisme sebelum Marx), dibagi atas kelompok pemikir sosialis yang cenderung “utopis” dan kelompok pemikir yang mencoba merealisasi gagasan – gagasan mereka dengan membentuk komunitas – komunitas bersama.
Sosialisme Utopis atau Sosialisme Utopia adalah sebuah istilah untuk mendefinisikan awal mula pemikiran sosialisme modern. Para sosialis utopis tidak pernah benar-benar menggunakan ini untuk menyebut diri mereka; istilah "Sosialisme Utopis" awalnya diperkenalkan oleh Karl Marx dan kemudian digunakan oleh pemikir-pemikir sosialis setelahnya, untuk menggambarkan awal kaum sosialis intelektual yang menciptakan hipotetis masa datang dari penganut paham egalitarian dan masyarakat komunal tanpa semata-mata memperhatikan diri mereka sendiri dengan suatu cara dimana komunitas masyarakat seperti itu bisa diciptakan atau diperjuangkan. Kata utopia sendiri diambil dari kisah pulau Utopia karangan Thomas Moore.
Robert Owen adalah seorang pengusaha yang kaya. Penderitaan yang pahit membuatnya berpikir bagaimana menciptakan suatu komunitas yang ideal, dimana kesejahteraan masyarakat sangat diperhatikan. Untuk itu Owen membangun pabrik sebagai model untuk perbaikan kesejahteraan para pekerja, yang disebut parallelogram. Ide Owen tentang sosialis dapat dilihat dari bukunya ”The New View of Society”. Ia juga menuntut adanya partisipasi pemerintah. Sama seperti Owen, Fourier dan Blanc juga berhasil merealisasikan pemikirannya dengan membentuk suatu daerah ideal yang berdasar atas pemikiran sosialisme. Tetapi sayang komunitas-komunitas itu tidak dapat bertahan lama karena beberapa faktor antara lain (1)oposisi dari beberapa kapitalis; (2)kekurangan modal; (3)tidak kuat bersaing dalam sistem kapitalis-liberalis; (4)serta kelemahan dalam pengelolaan. Dapat dikatakan bahwa ide pemikir sosialis adalah masih bersifat utopis, bersifat angan-angan, dan terlalu naif untuk diikuti. Karena dinilai idealisme mereka memang tinggi, tetapi secara teoritis-praktis tidak bisa direalisasi. Kalaupun ada yang merealisasi kebanyakan akan segera layu sebelum berkembang. Barulah ditangan Marx, ide sosialisme memperoleh ”landasan ilmiah” untuk berkembang menjadi sesuatu yang realistis.
2.        Marxisme
Karl Marx sangat benci dengan sistem perekonomian liberal yang digagas ole Adam Smith. Untuk menunjukkan kebenciannya, Marx menggunakan berbagai argumen untuk membuktikan bahwa sistem liberal/kapitalis itu buruk. Argumen – argumen yang disusun Marx dapat dilihat dari berbagai segi, baik dari sisi moral, sosiologi, maupun ekonomi.
Menurut Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah sejarah pertentangan kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak yang terikat. Bahkan dizaman modern ini ada masyarakat kelas kaya dan masyarakat kelas tak berpunya. Semua kelas – kelas masyarakat ini dianggap Marx timbul sebagai hasil dari kegiatan ekonomi masyarakat.
kelebihan nilai produktivitas kerja buruh atas upah alami disebut nilai leih (surplus value), dinikmati oleh para pemilik modal. Semakin kecil upah alami yang dibayarkan pada kaum buruh, semakn besar nilai surplus yang dinikmati pemilik modal. Berarti semakin besar pengisapan atau eksploitasi dari pemilik modal  atas kaum buruh. Hal ini dutulis Marx dalam Das Kapital. Sebagian dari laba yang merupakan surplus value tersebut diutamakan kembali sebagai investasi, apakah untuk memperluas usaha yang ada atau membuka lapangan usaha baru. Dari hasil investasi ini kekayaan mereka akan semakin menumpuk, semakin lama semakin besar
Dengan materialisme historis, Marx percaya sejarah manusia ditentukan oleh kebutuhan ekonominya yang paling dasar, yaitu kebutuhan akan materi. Seluruh tindak tanduk manusia didorong oleh motif ekonomi, yaitu pemuasan materi. Marx percaya bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi (yang disebutnya kekuatan-kekuatan produktif, productive force sangat menentukan hubungan-hubungan produksi, pasar, masyarakat, dan bahkan termasuk Supra struktur ideologi, falsafah, Hukum, sosial, budaya, agama, kesenian, dan sebagainya) nantinya diorganisasi.
Manurut Marx, kelompok masyarakat akan mengalami fase – fase sebagai berikut:
1.    Komunisme primitif (suku),
2.    Perbudakan,
3.    Feodalisme,
4.    Sosialisme, dan
5.    Komunisme.
Marx membedakan fase sosialisme dan komunisme, perbedaan diantara kedua fase tersebutt dilihat dari:
1.    Produktivitas,
2.    Hakikat manusia sebagai produsen, dan
3.    Pembagian pendapatan.
3.        Marxisme Era Baru
1.    Leninisme
Leninisme adalah teori politik dan praktek kediktatoran proletariat. Leninisme terdiri dari teori politik dan ekonomi sosialis yang dikembangkan dari Marxisme.  Pendirinya Vladimir Ilich Lenin (1870-1924) adalah bapak revolusi Rusia. Karya tulisnya yang cukup penting adalah The Development of Capitalism in Rusia (1956) dan Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (1933). Lenin berkeinginan membentuk negara komunis pertama di Rusia melalui beberapa teori yang dikemukakannya sebagai kritikan terhadap kapitalisme.

2.    Revisionisme
Revisionisme adalah aliran yang berkembang di negara-negara Eropa yang menganggap bahwa kejatuhan kapitalisme tidak harus melaui revolusi kekerasan seperti yang dilakukan Marx ataupun Lenin. Gerkan revisionis sebetulnya sudah dimulai di Jerman setelah Engels meninggal tahun 1895. Tujuan gerakan revisionis adalah untuk merevisi pemikiran-pemikiran Marx dan Engels. Tokoh revisionis cukup banyak diantaranya Bernstein, Tugan-Baranovsky, Kautsky dan Luxemburg.
3.    Aliran Kiri Baru
Aliran kiri baru mulai bangkit dan diterima di Amerika Serikat serta negara-negara Eropa Barat pada pertengahan tahun 60-an. Gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran sosialis yang sangat berbeda. Mulai dari pendiri aliran Marxisme ortodoks sampai kaum radikal yang sering mengkritik kapitalisme bahkan penulis-penulis non-Marxis. Secara sederhana aliran Kiri Baru dapat diartikan sebagai kombinasi dari Marxisme-Leninisme ortodoks dengan pemikiran radikal baru. Perhatian terhadap Marxisme muncul lagi setelah diterbitkanya buku Monopoli Capital oleh Paul Baran dan Paul Sweezy tahun 1966.


Sumber:
1.    Deliarnov. 2012. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Rajagravindo Persada.

4.    http://duniabirulaut.blogspot.com

Identitas Nasional

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional Indonesia belum menunjukkan perkembangan ke arah sifat kreatif serta dinamis. Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai perkembangan ke arah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami kemerosotan dari segi identitas nasional. Pada masa mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan, sehingga tidak membawa kemajuan bangsa dan Negara.
Identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain.Berdasarkan perngertian yang demikian ini maka setiap bangsa didunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, cirri – ciri serta karakter dari bangsa tersebut.Berdasarkan hakikat pengertian identitas nasional sebagai mana di jelaskan di atas maka identitas nasional suatu Bangsa tidak dapat di pisahkan dengan jati diri suatu bangsa ataulebih populer disebut dengan kepribadian suatu bangsa.
Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya,sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu kesatuan nasional.
2.      Rumusan Masalah
1)        Bagaimana pengertian identitas nasional?
2)        Bagaimana hakikat identitas nasional?
3)        Apa saja unsur – unsur pembentuk identitas nasional?

3.      Tujuan Penulisan
1)        Untuk mengetahui pengertian identitas nasional
2)        Untuk mengetahui hakikat identitas nasional
3)        Untuk mengetahui unsur – unsur pembentuk identitas nasional




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Identitas Nasional
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi sekarang ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalis Revolution, era globalisasi sekarang ini ideology kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu per satu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fukuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular ke arah ideologi universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya.
Dalam kondisi seperti ini, Negara nasional akan dikuasai oleh Negara transnasional, yang lazimnya didasari oleh Negara-negara dengan prinsip kapitalisme (Rosenau). Konsekuensinya Negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance cukup besar, sementara response kecil, maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australiadan bangsa Indian di Amerika. Namun demikian, jikalau challance kecil, sementara response besar, maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu, agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi, maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai Negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
Istilah “Identitas Nasional” secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini, maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula, hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Berdasarkan hakikat pengertian “Identitas Nasional” sebagaimana dijelaskan di atas, maka identitas nasional suatu bangsa atau lebih populer disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas, sebenarnya pertama kali muncul dari para pakar psikologi. Manusia sebagai individu sulit dipahami manakala ia terlepas dari manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya senantiasa memiliki suatu sifat kebiasaan, tingkah laku sertakarakter yang khas yang membedakan manusia tersebut dengan manusia lainnya. Namun demikian, pada umumnya pengertian atau istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis,psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Tingkah laku tersebut terdiri atas kebiasaan, sikap, sifat-sifat serta karakter yang berada pada seseorang sehingga seseorang tersebut berbeda dengan orang yang lainnya. Oleh karena itu, kepribadian adalah tercermin pada keseluruhan tingkah laku seseorang dalam hubungan dengan manusia lain.
Jikalau kepribadian sebagai suatu identitas dari suatu bangsa, maka persoalannya adalah bagaimana pengertian suatu bangsa itu. Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu “kesatuan nasional”. Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang hakikat kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara lain antropologi, psikologi dan sosiologi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Margareth Mead, Ruth Benedict, Ralph Linton, Abraham Kardiner, David Riesman. Menurut Mead dalam “Anthropology to Day” misalnya, bahwa studi tentang “National Character” mencoba untuk menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan suatu konstruksi tentang bagaimana sifat-sifat yang dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan patroon umum serta patron individu dari proses pendewasaannya diintegrasikan dalam tradisi sosial yang didukung oleh bangsa itu sedemikian rupa, sehingga nampak sifat-sifat kebudayaan yang sama, yang menonjol yang menjadi ciri khas suatu bangsa tersebut.
Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar psikologi Abraham Kardiner, mengadakan suatu proyek penelitian tentang watak umum suatu bangsa dan sebagai objek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan Tanala, yang kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam suatu buku yang berjudul “The Individual and His Society”. Dari hasil penelitian tersebut dirumuskan bahwa sebuah konsepsi tentang basic personality structure. Dengan konsepsi itu dimaksudkan bahwa semua unsur watak sama dimiliki oleh warga masyarakat tersebut, karena mereka hidup di bawah pengaruh suatu lingkungan kebudayaan selama masa tumbuh dan berkembangnya bangsa tersebut.
Linton juga mengemukakan pengertian tentang status personality, yaitu watak individu yang ditentukan oleh statusnya yang didapatkan dari kelahiran maupun dari segala daya upayanya. Status personality seseorang mengalami perubahan dalam suatu saat, jika seseorang tersebut bertindak dalam kedudukannya yang berbeda-beda, misalnya sebagai ayah, pegawai, anak laki-laki, pedagang, dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam hal basic personality structure dari suatu masyarakat, seorang peneliti harus memperhatikan unsur-unsur status personality yang kemungkinan mempengaruhinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian kepribadian sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut. Oleh karena itu, pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan pengertian “Peoples Character”, “National Character”, atau “National Identity”. Dalam hubungannya dengan identitas nasional Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia kiranya sangat sulit jikalau hanya dideskripsikan berdasarkan ciri khas fisik. Hal ini mengingat bangsa Indonesia itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis, ras, suku, kebudayaan, agama, serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki suatu perbedaan. Oleh karena itu, kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu identitas nasional secara historis berkembang dan menemukan jati dirinya setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun demikian, identitas nasional suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis mengingat bangsa adalah merupakan kumpulan dari manusia-manusia yang senantiasa berinteraksi dengan bangsa lain di dunia dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu, identitas nasional suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam konteks dinamis. Menurut Robert de Ventos sebagaimana dikutip oleh Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity, mengemukakan bahwa selain faktor etnisitas, teritorial, bahasa, agama, serta budaya, juga faktor dinamika suatu bangsa tersebut dalam proses pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, identitas nasional bangsa Indonesia juga harus dipahami dalam arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.

2.      Hakikat Identitas Nasional
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
Perlu dikemukakan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.
Hakikat identitas nasional indonesia adalah pancasila yg diaktualisasikan dalam bergagai kehidupan dan berbangsa. Aktualisasi  ini untuk menegakkan pancasila dan uud 45 sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan uud 45 terutama alinea ke 4
Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu :“Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “ yang diberi penjelasan : ” Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah
disebutkan dalam Pasal 32 :
1.      Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
2.      Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
3.      Unsur – Unsur Identitas Nasional
Identitas Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Ke-majemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan,dan bahasa.
Suku Bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kclompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.
Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, tetapi sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
Bahasa: merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia. Dari unsur-unsur identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut:
1.      Identitas Fundamental, yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan ldeologi Negara.
2.      Identitas Instrumental, yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya".
3.      Identitas Alamiah yang meliputi Negara Kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan (agama).






BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pencarian identitas nasional bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan Negara dengan konsep nama Indonesia. Bangsa dan Negara Indonesia ini dibangun dari unsur-unsur masyarakat lama dan dibangun menjadi suatu kesatuan bangsa dan Negara dengan prinsip nasionalisme modern. Oleh karena itu, pembentukan identitas nasional Indonesiamelekat erat dengan unsur-unsur lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya, etnis, agama serta geografis, yang saling berkaitan dan terbentuk melalui suatu proses yang cukup panjang.
2.      Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Dalam penulisan ini kami sadari masih banyak kekurangan, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah kami ini.




DAFTAR PUSTAKA
Zubaidi,M.Si,Achmad.2007.Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.Yogjakarta:Paradigma
Syarbani Syahrial, Wahid Aliaras. 2006; Membangun Karakter dan
Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan, UIEU – University Press
2009; Kompetensi Demokrasi yang Beradab melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Graha Ilmu, Yogyakarta.
http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/30/ memerangi-pengikisan-
identitas-nasional/
http://fisip.untirta.ac.id/teguh/?p=45




Manusia dan Peradaban

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang mempunyai akal, jasmani dan rohani. Melalui akalnya manusia dituntut untuk berfikir menggunakan akalnya untuk menciptakan sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Melalui jasmaninya manusia dituntut untuk menggunakan fisik atau jasmaninya melakukan sesuatu yang sesuai dengan fungsinya dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dan melalui rohaninya manusia dituntut untuk senantiasa dapat mengolah rohaninya yaitu dengan cara beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Antara manusia dan peradaban mempunyai hubungan yang sangat erat karena diantara keduanya saling mendukung untuk menciptakan suatu kehidupan yang sesuai kodratnya. Suatu peradaban timbul karena ada yang menciptakannya yaitu diantaranya ada faktor manusianya yang melaksanakan peradaban tersebut. 
Suatu peradaban mempunyai wujud, tahapan  dan dapat berevolusi atatu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Dari peradaban pula dapat mengakibatkan suatu perubahan pada kehidupan sosial. Perubahan ini dapat diakibatkan karena pengaruh modernisasi yang terjadi di masyarakat.
 Masyarakat yang beradab dapat diartikan sebagai masyarakat yang mempunyai sopan santun dan kebaikan budi pekerti. Ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia beradab dan dalam pengertian lain adalah suatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Perkembangan dunia IPTEK yang demikian mengagumkan itu memang telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis – jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis, demikian juga ditemukannya formulasi – formulasi baru kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktifitas manusia.

1.2.Rumusan Masalah
Bermula dari latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah :  
1.    Bagaimana hakekat adab dan peradaban?
2.    Bagaimana hakekat manusia sebagai mahluk beradab dan masyarakat adab?
3.    Bagaimana evolusi budaya dan tahap – tahap peradaban?
4.    Bagaimana wujud peradaban?
5.    Bagaimana problematika peradaban dalam kehidupan masyarakat?

1.3.Tujuan
Dalam penyusunan makalah ini, tujuan yang hendak dicapai adalah:
1.      Megetahui hakekat adab dan peradaban.
2.      Mengetahui hakekat manusia sebagai mahluk beradab dan masyarakat adab.
3.      Mengetahui evolusi budaya dan tahap – tahap peradaban.
4.      Mengetahui wujud peradaban
5.      Mengeteahiu problematika peradaban dalam kehidupan masyarakat


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1.  Hakikat Adab dan Peradaban
Dalam bahasa Inggris Civilization, sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dalam penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Berasal dari kata adab yang artinya sopan. Tinggi rendahnya suatu bangsa dipengaruhi oleh faktor kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan pendidikan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan menjadikan bangsa dianggap lebih maju dari bangsa lain pada zamannya.
Menurut Damono, sebagaimana dikutip oleh Okman Sukmana, kata “adab” berasal dari bahasa Arab yang berarti akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekerti.[1]
Sesungguhnya adab yang berarti kesopanan dan kehalusan budi pekerti berhubungan erat dengan konsep – konsep yang berwujud nilai moral, norma, etika, dan estetika.
Jika manusia dalam kehidupannya telah menyandarkan diri pada konsep – konsep nilai tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa “manusia tersebut adalah sebagai makhluk yang beradab”, yang menjalani kehidupannya dengan penuh akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekertinya.
Sedangkan “peradaban”, menurut Fairchild, sebagaimana dikutip oleh Omana Sukmana, adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya.[2]
Kemudian menurut pendapat Bierens De Hann, yang mempertentangkan pengertian kebudayaan dan peradaban sebagai berikut, peradaban adalah seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan teknik. Jadi, peradaban adalah bidang kehidupan untuk kegunaan yang praktis, sedngkan kebudayaan ialah sesuatu yang berasal dari hasrat dan gairah yang lebih dan murni yang berada diatas tujuan yang praktis hubungan kemasyarakatan. Sementara itu, Prof. Dr. Koentjaraningrat, memnyatakan bahwa peradaban ialah bagian – bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian.[3]
Masyarakat telah mencapai tahap kebudayaan tertentu dan telah maju berarti masyarakat tersebut telah mencapai tingkat peradaban tinggi yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan lain – lain.
Peradaban merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagian – bagian atau unsur kkebudayaan yang dianggap halus, indah, dan maju. Misalnya perkembangan kesenian, IPTEK, kepandaian manusia, dan sebagainya dimana tiap bangsa didunia memiliki karaktter kebudayaan yang khas, maka tak heran bila sebuah negara hanya unggul IPTEK-nya saja atau keseniannya saja.
Konsep peradaban tidak lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang tercermin dalam tingkkat intelektual, keindahan, teknologi, spiiritual yang terlihat dalam masyarakatnya. Kebudayaan merupakan kelanjutan yang bertahap kearah yang semakin kompleks. Dimana unsur – unsur kebudayaan terintegrasi menjadi satu sistem budaya dan memiliki keterkaitan antara ketujuh unsur kebudayaan universal yaitu sistem teknologi, peralatan, sistem mata pencaharian, organisme, sosial, religi dan bahasa.
Dengan demikian, peradaban tidak lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang dicirikan oleh taraf intelektual, kekindahan, teknologi, dan spiritual tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya. Taraf kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu  tercermin pada pendukungnya yang dikatakan sebagai beradab atau mencapai peradaban yang tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pendapat koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Nursyid Sumaatmaja, sebagai berikut :
Di samping istilah “kebudayaan” ada pula istilah “peradaban”. Hal yang terakhir adalah sama dengan istilah civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebutkan bagian – bagian dan unsur – unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah, seperti misalnya : kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Istilah “peradaban” sering dipakai untuk menyebutkan suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan dan masyarakat maju dan kompleks.[4]
Dengan demikian, peradaban adalah merupakan tahapan tertentu dari kebudayaan masyarakat tertentu pula, yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju.
Suatu masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada tahap tetentu yang diakui oleh tingkat IPTEK dan unsur – unsur budaya lainnya. Dengan demikian, masyarakat tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses perubahan sosial yang berarti, sehingga taraf kehidupannyasemakin kompleks. Atau dengan kata lain telah memasuki tahapan atau tingkatan peradaban tertentu.
2.2.  Hakikat Manusia Sebagai Mahluk beradab dan Manusia Adab
manusia disamping sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial budaya, dimana saling berkaitan satu sama lain. Sebagai mahluk Tuhan, manusia memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada sang Kholik, sebagai mahluk individu manusia harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai mahluk sosial budaya harus hidup berdampingan dengan manusia atau orang lain dalam kehidupan yang selaras dan saling membantu.
Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia yang lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan bantuan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lalin tersebut, sehingga dengan demikian manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain, agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Tanggung jawab adalah sesuatu yang menjadi keharusan untuk dilaksanakan. Kalau terjadi sesuatu maka orang yang dibebani tanggung jawab tersebut wajib menanggung segala sesuatunya. Oleh karena itu, manusia yang bertanggung jawab ialah manusia yang dapat menyatakan bahwa tindakannya itu baik dalam arti menurut norma umum.
Dalam kehidupannya manusia pasti dihadapkan dalam berbagai masalah, hambatan, tantangan, dan gangguan dalam upaya mencapai cita – cita hidup atau tujuan hidupnya. Sebagai mahluk yang mempunyai keinginan mencapai cita – cita yang akan memimpin kepada kebaikan dan keselamatan baik pribadi maupun orang lain, harus memiliki pandangan hidup yang teguh dan tak tergoyahkan oleh kedaan apapun.
Didalam mengadakan interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu yang lainnya atau bahkan dengan masyarakat sekitarnya, maka individu atau orang tersebut harus menjunjung tinggi tenggang rasa, tepo seliro, saling asih, asuh, dan asah. Dengan demikian manusia semua mampu menunjukkan bahwa ada guna dan mampu menunjukkan fungsi masing – masing.
Hidup sebenarnya merupakan kodrat dari setiap manusia, dan barangkali siap dibayangkan apabilamasih ada manusia yang hidup sendirian. Sebab di tengah – tengah kehidupan bersama itu justru manusia dapat mengembangkan kemanusiaannya, disitu pula ada aturan – aturan, norma – norma, adat istiadat, ugeran dan wejangan yang harus ditaati, yang kesemuanya itu turut membentuk citra pikiran, pola dan tindakan dari semua manusia.
Untuk menjadi mahluk yang beradab, manusia harus senantiasa menjujung tinggi aturan – aturan, norma – norma, adat istiadat, ugeran dan wejangan atau nilai – nilai kehidupan yang ada dimasyarakat yang diwujudkan dengan manaati berbagai pranata sosial atau aturan sosial, sehingga dalam kehidupan di masyarakat itu akan tercipta ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian. Dan nilah sesungguhnya makna hakiki sebagai manusia beradab.[5]
Konsep masyarakat adab dalam pengertian yang lain, adalah seuatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
2.3.  Evolusi Budaya dan Tahapan – Tahapan Peradaban
Evolusi diajukan sebagai faktor kebudayaan pada sekitar pertengahan abad ke – 19 dan dengan segera pula menjadi kategori budaya yang sangat populer. Mereka yang menerapkan gagasan evolusi pada pertumbuhan kebudayaan tidak begitu melukiskan proses yang sungguh – sungguh terjadi, melainkan hanya menyusun sebuah artificial selection diantara ratusan peristiwa dan kejadian yang lalu diurutkan mmenurut skema evolusi. Menurut JWM Baker SJ[6], mereka tidak sampai menerangkan jalan kebudayaan dengan teori evolusi, tetapi mencoba membuktikan evolusi dengan data budaya yang ada.
Proses evolusi kebudayaan hanya dipandang dari jauh, yakni dengan mengambil jangka waktu yang panjang, misalnya beberapa tahun yang lalu, maka akan menampakkan perubahan – perubahan besar yang seolah menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan kebudayaan yang bersangkutan. Perubahan – perubahan besar ini lalu menjadi perhatian utama dari para peneliti yang berupaya untuk merekonstruksikan sejarah perkembangan dari seluruh umat manusia dan kebudayaannya. Para peneliti pada umumnya merekonstruksi dengan menganalisa sisa – sisa dari benda – benda hasil kebudayaan manusia jaman dahulu yang antara lain digali dari dalam lapisan bumi diberbagai tempat.[7]
Sementara itu terkait dengan tahapan – tahapan peradaban, Alfin Tolfer sebagaimana dikutip oleh Oman Sukmana, menyatakan bahwa tahapan peradaban dapat dibagi atas 3 (tiga) tahapan, yaitu:[8]
1.        Gelombang pertama sebagai tahap peradaban pertanian, dimana dimulai kehidupan baru dari budaya meramu ke bercocok tanam (revolusi agraris).
2.        Gelombang kedua sebagai tahap peradaban industri penemuan mesin uap, energi listrik, mesin untuk mobil dan pesawat tterbang (revolusi industri).
3.        Gelombang ketiga pada tahap perkembangab peradaban reformasi. Penemuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dengan komputer atau alat komunikasi digital.
Jhon Naisbitt,[9] mengemukakan bahwa era reformasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang ditandai dengan beberapa indikator, yaitu:
1.        Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat,
2.        Masyarakat takut sekaligus memuja teknologi,
3.        Masyarakat mengaburkan peradaban antara yang nyata dan yang semu,
4.        Masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar,
5.        Masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan, dan
6.        Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.
2.4.  Wujud Peradaban
Peradaban adalah wujud kebudayaan sebagai hasil kreatifitas manusia baik yang bersifat materiil barupa benda – benda yang kasat mata dan dapat diraba maupun yang bersifat non – materiil dalam bentuk nilai, norma, moral, etika dan estetika.
Yang hendak diulas lebih lanjut dalam bagian iini adalah peradaban sebagai wujud kebudayaan yang bersifat non – materiil, sebagai adat sopan santun pergaulan dalan kehidupan bermasyarakat, yang sangat penting artinyan bagi manusia sehingga dalam menjalani hidup dan kehidupan ini manusia senantiasa memegang teguh nilai – nilai yang ada baik berupa moral, norma, etika dan estetika.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan didalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak – gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.[10]
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya, meliputi perilaku yang dianggap baik dan perilaku yang diangap tidak baik. Etika merupakan suatu ajaran yang melakukan refleksi kritis atas norma ajaran moral. Tugas etika adalah mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah laku manusia.
Secara dikotomis ada etika deskriptif yang berusaha mengkaji secara kritis dan rasional tentang sikap dan pola perilaku manusia, dan apa yang dikerjakan oleh manusia dalam hidup sebagai sesuatu yang bernilai. Sedangkan etika normatif adalah berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia.
Menurut Th. L. Vanhoeven (dalam Oman Sukmana), norma berasala dari kata “normalis”, yang bertarti menurut petunjuk, kaidah, kebiasaan, kelaziman, patokan, standar, ukuran.[11] Norma – norma yang ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda – beda, yang dapat dirinci sebagai berikut:[12]
1.    Folkways, yakni norma – norma berdasarkan kebiasaan dalam tradisi, dan apabila dilanggar tidak ada sanksinya, tetapi hanya dianggap aneh dan menjadi sasaran pembicaraan umum saja. Contoh: tata cara berpakaian, tata cara makan, tata cara sopan santun, dan sebagainya.
2.    Mores (tata kelakuan), yakni norma moral yang menentukan suatu kelakuan tergolaong benar atau salah, baik atau buruk. Norma – norma atau kaidah – kaidah tersebut sebetulnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasar masyarakat. Perbuatan yang melanggar mores biasanya dikenakan sanksi. Jadi individu yang melanggar mores akan dihukum.
Manusia sebagai makhluk sosial dan mahluk berbudaya pada dasarnya dipengaruhi oleh nilai – nilai kemanusiaan, dimana nilai tersebut erat hubungannya dengan moralitas. Moral adalah nilai – nilai dalam masyarakat dalam hubungannya dengan kesusilaan. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus hidup secara baik sebagai manusia, dan sekaligus merupakan petunjuk kongkrit yang siap pakai tentang bagaimana seseorang itu harus hidup.
Jika manusia dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, mampu menegakkan dan selalu berpegang teguh pada nilai – nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, sehingga pada gilirannya tercipta adanya kedilan, ketentraman dan kesejahteraan, maka inilah sebagai wujud dari masyarakat bermoral, dan sebaliknya akan terjadi dekadensi moral.
Selanjutnya terkait dengan estetika, sebagaimana diketahui bahwa dalam realitas budaya pengembangab kebudayaan dikembangkan melalui nilai – nilai estetika yang tidak terlepas dari nilai – nilai moral, etika, norma dan hukum yang berlaku.
Secara etimologis istilah “estetika” berarti “teori tentang ilmu penginderaan”. Tetapi kemudian diberi pengertian yang dapat diterima lebih luas ialah “teori tentang keindahan dan seni.”[13]
Manusia memiliki sensibilitas estetis, karena itu manusia tak dapat dilepaskan dari keindahan. Manusia membutuhkan keindahan dalam kesempurnaan (keutuhan) pribadinya. Tanpa estetika ini, kemanusiaan tidak lagi mempunyai perasaan dan semua kehidupan akan menjadi steril. Demikian eratnya kehidupan manusia dengan keindahan, maka banyak para ahli/cendekiawan mengadakan studi khusus tentang keindahan. Melalui panca inderanya, manusia dapat merasakan sesuatu. Apabila manusia merasakan akan sesuatu itu menyenangkan atau menggembirakan dan sebagainya, timbul perasaan puas. Demikian juga kepuasan timbul setelah seseorang melihat atau merasakan sesuatu yang indah. Rasa kepuasan itu lahir setelah perasaan keindahan yang ada pada setiap orang itu bangkit. Tiap – tiap orang memiliki perasaan keindahan (kepekaan keindahan), yaitu kemampuan terpesona, tergerak oleh ciptaan yang indah, tidak acuh tak acuh, tetapi mengambil sikap (senang atau tidak senang).
2.5.  Problematika Peradaban dalam Kehidupan Masyarakat
1.      Kemajuan IPTEK Bagi Peradaban Manusia
Secara harfiah teknologi dapat diartikan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan akal dan alat.
Sedangkan menurut Jaques Ellul (1967: 1967 xxv) memberi arti teknologi sebagai” keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia”Pengertian teknologi secara umum adalah: proses yang meningkatkan nilai tambah, produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja, Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembamngkan dan digunakan           
Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuanm ilmu pengetahuan. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Namun demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi lain juga juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif.         

2.      Dampak Globalisasi Bagi Peradaban Manusia
Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia . Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri . Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, misalnya pergaulan bebas. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya. Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa).   
Beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya pergeseran kebudayaan/peradaban yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi, diantaranya yaitu :
a.         Pemerintah perlu mengkaji ulang peraturan-peraturan yang dapat menyebabkan pergeseran budaya bangsa.
b.         Masyarakat perlu berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah masing-masing khususnya dan budaya bangsa pada umumnya.
c.         Para pelaku usaha media massa perlu mengadakan seleksi terhadap berbagai berita, hiburan dan informasi yang diberikan agar tidak menimbulkan pergeseran budaya.
d.        Masyarakat perlu menyeleksi kemunculan globalisasi kebudayaan baru,  sehingga budaya yang masuk tidak merugikan dan berdampak negative.
e.         Masyarakat harus berhati-hati dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sehingga pengaruh globalisasi di negara kita tidak terlalu berpengaruh pada kebudayaan yang merupakan jati diri bangsa kita.




BAB III
STUDI KASUS
Sebenarnya kesadaran murni manusia dalam menuntut hak tidak pernah berhenti, segala daya upaya telah pula dilaksanakan. Di pihak lain dapat pula diketahui, bahwa ada beberapa tindakan manusia yang erat hubungannya dengan manusia hak, mereka ingin melepaskan diri dari keadaan yang dianggapnya tidak sesuai dengan perasaan keadilannya. Bahkan tindak tanduk mereka justru dianggapnya paling benar dan bijaksana, terlepas dari apakah mereka telah berputus asa atau tudak dalam menuntut hak dan memperoleh keadilan ini, yang jelas tingkah laku tersebut dilakukannya sebagai jalan keluar dari masalah tersebut.
Terjadinya peristiwa manusia yang tidak makan (mogok makan) dalam waktu tertentu, dan adanya pembelotan – pembelotan dari warga itu sendiri dengan berbagai dalil dan alasan mereka sebagai aksi protes karena terjadi ketidakadilan. Mereka merasa adanya kekangan – kekangan hidup dan adanya pembatasan yang ketat terhadap beberapa hak yang kiranya harus diperhatikan dalam kehidupan mereka sehari – hari, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara.
Semua kejadian tersebut, sebenarnya berpangkal dari adanya sebuah keinginan kesempurnaan hidup. Hidup baru dikatakan sempurna apabila semua hak – hak yang dimiliki oleh manusia mendapat perhatian penuh. Dalam suatu masyarakat yang adil, setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya dianggap paling cocok bagi setiap orang tersebut, yang tentunya perlu adanya keselarasan dan keharmonisan.
Namun demikian keinginan manusia untuk mewujudkan keinginannya atau haknya sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan hidup, tidaklah boleh dilakukan secara berlebihan atau bahkan merugikan manusia lain. Dengan kata lain manusia dalam menggunakan hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya tidak boleh melampaui batas atau merugikan kepentingan manusia lain. Sebagai suatu anggota masyarakat yang beradab manusia harus bisa menciptakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Jadi perlu adanya suatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.


BAB IV
ANALISA DAN KESIMPULAN

Peradaban adalah merupakan tahapan tertentu dari kebudayaan masyarakat tertentu pula, yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju.
Suatu masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada tahap tetentu yang diakui oleh tingkat IPTEK dan unsur – unsur budaya lainnya. Dengan demikian, masyarakat tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses perubahan sosial yang berarti, sehingga taraf kehidupannyasemakin kompleks. Atau dengan kata lain telah memasuki tahapan atau tingkatan peradaban tertentu.
Untuk menjadi mahluk yang beradab, manusia harus senantiasa menjujung tinggi aturan – aturan, norma – norma, adat istiadat, ugeran dan wejangan atau nilai – nilai kehidupan yang ada dimasyarakat yang diwujudkan dengan manaati berbagai pranata sosial atau aturan sosial, sehingga dalam kehidupan di masyarakat itu akan tercipta ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian. Dan inilah sesungguhnya makna hakiki sebagai manusia beradab.
Konsep masyarakat adab dalam pengertian yang lain, adalah seuatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Proses evolusi kebudayaan hanya dipandang dari jauh, yakni dengan mengambil jangka waktu yang panjang, misalnya beberapa tahun yang lalu, maka akan menampakkan perubahan – perubahan besar yang seolah menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan kebudayaan yang bersangkutan. Perubahan – perubahan besar ini lalu menjadi perhatian utama dari para peneliti yang berupaya untuk merekonstruksikan sejarah perkembangan dari seluruh umat manusia dan kebudayaannya. Para peneliti pada umumnya merekonstruksi dengan menganalisa sisa – sisa dari benda – benda hasil kebudayaan manusia jaman dahulu yang antara lain digali dari dalam lapisan bumi diberbagai tempat.
Jika manusia dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, mampu menegakkan dan selalu berpegang teguh pada nilai – nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, sehingga pada gilirannya tercipta adanya kedilan, ketentraman dan kesejahteraan, maka inilah sebagai wujud dari masyarakat bermoral, dan sebaliknya akan terjadi dekadensi moral.
Manusia memiliki sensibilitas estetis, karena itu manusia tak dapat dilepaskan dari keindahan. Manusia membutuhkan keindahan dalam kesempurnaan (keutuhan) pribadinya. Tanpa estetika ini, kemanusiaan tidak lagi mempunyai perasaan dan semua kehidupan akan menjadi steril. Demikian eratnya kehidupan manusia dengan keindahan, maka banyak para ahli/cendekiawan mengadakan studi khusus tentang keindahan. Melalui panca inderanya, manusia dapat merasakan sesuatu. Apabila manusia merasakan akan sesuatu itu menyenangkan atau menggembirakan dan sebagainya, timbul perasaan puas. Demikian juga kepuasan timbul setelah seseorang melihat atau merasakan sesuatu yang indah. Rasa kepuasan itu lahir setelah perasaan keindahan yang ada pada setiap orang itu bangkit. Tiap – tiap orang memiliki perasaan keindahan (kepekaan keindahan), yaitu kemampuan terpesona, tergerak oleh ciptaan yang indah, tidak acuh tak acuh, tetapi mengambil sikap (senang atau tidak senang).




DAFTAR PUSTAKA

Bakker SJ, JWM, 1984, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta
Nursyid Sumaatmadja, 2002, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Alfabeta, Bandung.
Sukamana, Oman, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Diktat Kuliah, Universitas Muhammadiyah Malang.
Suratman, 2009, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Materi Kuliah, Universitas Ialam Malang.




[1] Oman sukmana, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (manusia dan peradaban) Diktat Kuliah, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, 2008, halaman 2
[2] Ibid., dan lihat pula dalam Nursyid Sumaatmadja, Pendidikan Pemanusiaan, Manusia dan Manusiawi, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2002, halaman 67
[3] Elly M Setiadi, et.al., op.cit., halaman 45
[4] Nursyid Sumaatmaja, loc.cit.
[5] Suratman, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Manusia dan Peradaban), Hand Out, Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang (Unisma), 2009, halaman 6
[6] JWM Baker SJ, op.cit., halamamn 59
[7] Koentjaraningrat, op.cit., halaman 137 – 138
[8] Alvin Tolfer dalam Oman Sukmana, op.cit., halaman 5
[9] Ibid., halaman 11
[10] Ki Hadjar Dewantara dalam Oman Sukmana, op.cit., halaman 7
[11] Ibid, halaman 8
[12] Koentjaraningrat, op.cit., halaman 84 - 85
[13] M. Habib Mustopo, op.cit., halaman 102