Belajar Bersama
Gambar
Sabtu, 15 Maret 2014
Belajar Bersama: Sejarah Teori Ekonomi: Sosialisme Sebelum Marxisme...
Belajar Bersama: Sejarah Teori Ekonomi: Sosialisme Sebelum Marxisme...: Pemikiran Sosialisme 1. Sosialisme Sebelum Marxisme A. Pengertian Sosialisme Pada awalnya “sosialisme” dimaksudkan unt...
Sejarah Teori Ekonomi: Sosialisme Sebelum Marxisme
Pemikiran
Sosialisme
1.
Sosialisme
Sebelum Marxisme
A. Pengertian Sosialisme
Pada awalnya “sosialisme” dimaksudkan
untuk menunjukkan sistem – sistem pemlikan dan pemanfaatan sumber – sumber
produksi secara kolektif. Dengan definisi itu, sosialisme bisa mencakup
asosiasi – asosiasi kooperatif maupun pemilikan dan pengoperasian oleh
pemerintah.
Kelompok
pertama (sosialisme sebelum Marx), dibagi atas kelompok pemikir sosialis yang
cenderung “utopis” dan kelompok pemikir yang mencoba merealisasi gagasan –
gagasan mereka dengan membentuk komunitas – komunitas bersama.
Sosialisme
Utopis atau Sosialisme Utopia adalah sebuah istilah untuk mendefinisikan awal
mula pemikiran sosialisme modern. Para sosialis utopis tidak pernah benar-benar
menggunakan ini untuk menyebut diri mereka; istilah "Sosialisme
Utopis" awalnya diperkenalkan oleh Karl Marx dan kemudian digunakan oleh
pemikir-pemikir sosialis setelahnya, untuk menggambarkan awal kaum sosialis
intelektual yang menciptakan hipotetis masa datang dari penganut paham
egalitarian dan masyarakat komunal tanpa semata-mata memperhatikan diri mereka
sendiri dengan suatu cara dimana komunitas masyarakat seperti itu bisa
diciptakan atau diperjuangkan. Kata utopia sendiri diambil dari kisah pulau
Utopia karangan Thomas Moore.
Robert
Owen adalah seorang pengusaha yang kaya. Penderitaan yang pahit membuatnya
berpikir bagaimana menciptakan suatu komunitas yang ideal, dimana kesejahteraan
masyarakat sangat diperhatikan. Untuk itu Owen membangun pabrik sebagai model
untuk perbaikan kesejahteraan para pekerja, yang disebut parallelogram. Ide
Owen tentang sosialis dapat dilihat dari bukunya ”The New View of Society”. Ia
juga menuntut adanya partisipasi pemerintah. Sama seperti Owen, Fourier dan
Blanc juga berhasil merealisasikan pemikirannya dengan membentuk suatu daerah
ideal yang berdasar atas pemikiran sosialisme. Tetapi sayang komunitas-komunitas
itu tidak dapat bertahan lama karena beberapa faktor antara lain (1)oposisi
dari beberapa kapitalis; (2)kekurangan modal; (3)tidak kuat bersaing dalam
sistem kapitalis-liberalis; (4)serta kelemahan dalam pengelolaan. Dapat
dikatakan bahwa ide pemikir sosialis adalah masih bersifat utopis, bersifat
angan-angan, dan terlalu naif untuk diikuti. Karena dinilai idealisme mereka
memang tinggi, tetapi secara teoritis-praktis tidak bisa direalisasi. Kalaupun
ada yang merealisasi kebanyakan akan segera layu sebelum berkembang. Barulah
ditangan Marx, ide sosialisme memperoleh ”landasan ilmiah” untuk berkembang
menjadi sesuatu yang realistis.
2.
Marxisme
Karl
Marx sangat benci dengan sistem perekonomian liberal yang digagas ole Adam
Smith. Untuk menunjukkan kebenciannya, Marx menggunakan berbagai argumen untuk
membuktikan bahwa sistem liberal/kapitalis itu buruk. Argumen – argumen yang
disusun Marx dapat dilihat dari berbagai segi, baik dari sisi moral, sosiologi,
maupun ekonomi.
Menurut
Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah
sejarah pertentangan kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan
budak yang terikat. Bahkan dizaman modern ini ada masyarakat kelas kaya dan
masyarakat kelas tak berpunya. Semua kelas – kelas masyarakat ini dianggap Marx
timbul sebagai hasil dari kegiatan ekonomi masyarakat.
kelebihan
nilai produktivitas kerja buruh atas upah alami disebut nilai leih (surplus value), dinikmati oleh para pemilik modal. Semakin kecil upah alami yang dibayarkan pada kaum buruh, semakn besar nilai surplus yang dinikmati pemilik modal. Berarti
semakin besar pengisapan atau eksploitasi
dari
pemilik modal atas kaum buruh. Hal ini dutulis Marx dalam Das Kapital. Sebagian
dari laba yang merupakan surplus value tersebut diutamakan
kembali sebagai investasi, apakah untuk memperluas usaha yang ada atau membuka lapangan usaha baru. Dari hasil investasi ini
kekayaan mereka akan semakin menumpuk, semakin lama semakin besar
Dengan
materialisme historis,
Marx percaya
sejarah manusia ditentukan
oleh kebutuhan ekonominya yang paling dasar, yaitu kebutuhan akan materi. Seluruh tindak tanduk manusia didorong oleh motif ekonomi, yaitu pemuasan materi. Marx
percaya bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi (yang disebutnya kekuatan-kekuatan
produktif, productive force sangat menentukan hubungan-hubungan produksi,
pasar, masyarakat, dan bahkan termasuk Supra struktur ideologi, falsafah,
Hukum, sosial, budaya, agama, kesenian, dan sebagainya) nantinya diorganisasi.
Manurut
Marx, kelompok masyarakat akan mengalami fase – fase sebagai berikut:
1. Komunisme
primitif (suku),
2. Perbudakan,
3. Feodalisme,
4. Sosialisme,
dan
5. Komunisme.
Marx
membedakan fase sosialisme dan komunisme, perbedaan diantara kedua fase
tersebutt dilihat dari:
1. Produktivitas,
2. Hakikat
manusia sebagai produsen, dan
3. Pembagian
pendapatan.
3.
Marxisme
Era Baru
1. Leninisme
Leninisme adalah teori politik dan praktek kediktatoran
proletariat. Leninisme terdiri dari teori politik dan ekonomi sosialis yang dikembangkan
dari Marxisme.
Pendirinya Vladimir Ilich Lenin (1870-1924) adalah bapak revolusi Rusia.
Karya tulisnya yang cukup penting adalah The Development of Capitalism in
Rusia (1956) dan Imperialism, the Highest Stage of Capitalism (1933). Lenin
berkeinginan membentuk negara komunis pertama di Rusia melalui beberapa teori
yang dikemukakannya sebagai kritikan terhadap kapitalisme.
2.
Revisionisme
Revisionisme adalah aliran yang berkembang di
negara-negara Eropa yang menganggap bahwa kejatuhan kapitalisme tidak harus
melaui revolusi kekerasan seperti yang dilakukan Marx ataupun Lenin. Gerkan
revisionis sebetulnya sudah dimulai di Jerman setelah Engels meninggal tahun
1895. Tujuan gerakan revisionis adalah untuk merevisi pemikiran-pemikiran Marx
dan Engels. Tokoh revisionis cukup banyak diantaranya Bernstein,
Tugan-Baranovsky, Kautsky dan Luxemburg.
3.
Aliran Kiri Baru
Aliran kiri baru mulai bangkit dan
diterima di Amerika Serikat serta negara-negara Eropa Barat pada pertengahan
tahun 60-an. Gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran sosialis yang sangat
berbeda. Mulai dari pendiri aliran Marxisme ortodoks sampai kaum radikal yang
sering mengkritik kapitalisme bahkan penulis-penulis non-Marxis. Secara
sederhana aliran Kiri Baru dapat diartikan sebagai kombinasi dari
Marxisme-Leninisme ortodoks dengan pemikiran radikal baru. Perhatian terhadap
Marxisme muncul lagi setelah diterbitkanya buku Monopoli Capital oleh
Paul Baran dan Paul Sweezy tahun 1966.
Sumber:
1.
Deliarnov. 2012. Perkembangan
Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Rajagravindo Persada.
4.
http://duniabirulaut.blogspot.com
Identitas Nasional
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas
nasional Indonesia belum menunjukkan perkembangan ke arah sifat kreatif serta
dinamis. Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945,
berbagai perkembangan ke arah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami
kemerosotan dari segi identitas nasional. Pada masa mempertahankan kemerdekaan
bangsa Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan, sehingga tidak membawa
kemajuan bangsa dan Negara.
Identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh
suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa
yang lain.Berdasarkan perngertian yang demikian ini maka setiap bangsa didunia
ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, cirri
– ciri serta karakter dari bangsa tersebut.Berdasarkan hakikat pengertian
identitas nasional sebagai mana di jelaskan di atas maka identitas nasional
suatu Bangsa tidak dapat di pisahkan dengan jati diri suatu bangsa ataulebih
populer disebut dengan kepribadian suatu bangsa.
Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai
persamaan nasib dalam proses sejarahnya,sehingga mempunyai persamaan watak atau
karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah
tertentu sebagai suatu kesatuan nasional.
2. Rumusan Masalah
1)
Bagaimana
pengertian identitas nasional?
2)
Bagaimana hakikat
identitas nasional?
3)
Apa saja unsur –
unsur pembentuk identitas nasional?
3. Tujuan Penulisan
1)
Untuk mengetahui
pengertian identitas nasional
2)
Untuk mengetahui
hakikat identitas nasional
3)
Untuk mengetahui
unsur – unsur pembentuk identitas nasional
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Pengertian Identitas Nasional
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi sekarang ini mendapat tantangan
yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut
Berger dalam The Capitalis Revolution,
era globalisasi sekarang ini ideology kapitalislah yang akan menguasai dunia.
Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu per satu dan menjadi sistem
internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di
dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan.
Perubahan global ini menurut Fukuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu
dari ideologi partikular ke arah ideologi universal dan dalam kondisi seperti
ini kapitalismelah yang akan menguasainya.
Dalam kondisi seperti ini, Negara nasional akan dikuasai oleh Negara
transnasional, yang lazimnya didasari oleh Negara-negara dengan prinsip kapitalisme
(Rosenau). Konsekuensinya Negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin
terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat
tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas
suatu bangsa yang merupakan local genius
dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response.
Jikalau challance cukup besar,
sementara response kecil, maka bangsa
tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di
Australiadan bangsa Indian di Amerika. Namun demikian, jikalau challance kecil, sementara response besar, maka bangsa tersebut
tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu, agar bangsa
Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi, maka harus tetap meletakkan
jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia
sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi
di berbagai Negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh
tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan
kembali kesadaran nasional.
Istilah “Identitas Nasional” secara terminologis adalah suatu ciri yang
dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut
dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini, maka setiap
bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan
keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula,
hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk
secara historis. Berdasarkan hakikat pengertian “Identitas Nasional”
sebagaimana dijelaskan di atas, maka identitas nasional suatu bangsa atau lebih
populer disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas, sebenarnya pertama kali
muncul dari para pakar psikologi. Manusia sebagai individu sulit dipahami
manakala ia terlepas dari manusia lainnya. Oleh karena itu, manusia dalam
melakukan interaksi dengan individu lainnya senantiasa memiliki suatu sifat
kebiasaan, tingkah laku sertakarakter yang khas yang membedakan manusia
tersebut dengan manusia lainnya. Namun demikian, pada umumnya pengertian atau
istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas
dari faktor-faktor biologis,psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah
laku individu. Tingkah laku tersebut terdiri atas kebiasaan, sikap, sifat-sifat
serta karakter yang berada pada seseorang sehingga seseorang tersebut berbeda
dengan orang yang lainnya. Oleh karena itu, kepribadian adalah tercermin pada
keseluruhan tingkah laku seseorang dalam hubungan dengan manusia lain.
Jikalau kepribadian sebagai suatu identitas dari suatu bangsa, maka
persoalannya adalah bagaimana pengertian suatu bangsa itu. Bangsa pada hakikatnya
adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses
sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk
bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu
“kesatuan nasional”. Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang
hakikat kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara
lain antropologi, psikologi dan sosiologi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain
Margareth Mead, Ruth Benedict, Ralph Linton, Abraham Kardiner, David Riesman.
Menurut Mead dalam “Anthropology to Day”
misalnya, bahwa studi tentang “National
Character” mencoba untuk menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan
suatu konstruksi tentang bagaimana sifat-sifat yang dibawa oleh kelahiran dan
unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan patroon umum serta patron
individu dari proses pendewasaannya diintegrasikan dalam tradisi sosial yang
didukung oleh bangsa itu sedemikian rupa, sehingga nampak sifat-sifat
kebudayaan yang sama, yang menonjol yang menjadi ciri khas suatu bangsa
tersebut.
Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar psikologi
Abraham Kardiner, mengadakan suatu proyek penelitian tentang watak umum suatu
bangsa dan sebagai objek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan Tanala,
yang kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam suatu buku yang berjudul “The Individual and His Society”. Dari
hasil penelitian tersebut dirumuskan bahwa sebuah konsepsi tentang basic personality structure. Dengan konsepsi
itu dimaksudkan bahwa semua unsur watak sama dimiliki oleh warga masyarakat
tersebut, karena mereka hidup di bawah pengaruh suatu lingkungan kebudayaan
selama masa tumbuh dan berkembangnya bangsa tersebut.
Linton juga mengemukakan pengertian tentang status personality, yaitu watak individu yang ditentukan oleh
statusnya yang didapatkan dari kelahiran maupun dari segala daya upayanya. Status personality seseorang mengalami
perubahan dalam suatu saat, jika seseorang tersebut bertindak dalam kedudukannya
yang berbeda-beda, misalnya sebagai ayah, pegawai, anak laki-laki, pedagang,
dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam hal basic personality structure dari suatu
masyarakat, seorang peneliti harus memperhatikan unsur-unsur status personality yang kemungkinan
mempengaruhinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian kepribadian sebagai suatu
identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari
kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut.
Oleh karena itu, pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat
dipisahkan dengan pengertian “Peoples
Character”, “National Character”,
atau “National Identity”. Dalam
hubungannya dengan identitas nasional Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia
kiranya sangat sulit jikalau hanya dideskripsikan berdasarkan ciri khas fisik.
Hal ini mengingat bangsa Indonesia itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis,
ras, suku, kebudayaan, agama, serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki
suatu perbedaan. Oleh karena itu, kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu
identitas nasional secara historis berkembang dan menemukan jati dirinya
setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun demikian, identitas
nasional suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis mengingat bangsa
adalah merupakan kumpulan dari manusia-manusia yang senantiasa berinteraksi
dengan bangsa lain di dunia dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu,
identitas nasional suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesia juga
harus dipahami dalam konteks dinamis. Menurut Robert de Ventos sebagaimana
dikutip oleh Manuel Castells dalam bukunya, The
Power of Identity, mengemukakan bahwa selain faktor etnisitas, teritorial,
bahasa, agama, serta budaya, juga faktor dinamika suatu bangsa tersebut dalam
proses pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, identitas
nasional bangsa Indonesia juga harus dipahami dalam arti dinamis, yaitu
bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya
secara global dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.
2.
Hakikat
Identitas Nasional
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa
hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam
berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan
beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai – nilai etik,
moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam
pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
Perlu dikemukakan bahwa
nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah
barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan
sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat
menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu
yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru
agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam
masyarakat.
Hakikat identitas nasional indonesia adalah
pancasila yg diaktualisasikan dalam bergagai kehidupan dan berbangsa. Aktualisasi ini untuk menegakkan pancasila dan uud 45
sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan uud 45 terutama alinea ke 4
Krisis multidimensi yang kini sedang melanda
masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk
mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen
konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam
pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu :“Pemerintah
memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “ yang diberi penjelasan : ” Kebudayan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di
daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan
tidak menolak bahan – bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia “.
Kemudian dalam UUD 1945 yang
diamandemen dalam satu naskah
disebutkan dalam Pasal 32 :
1. Negara memajukan kebudayan Nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
2. Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara
konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan
identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan
bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak
kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di
tahun 1952.
3.
Unsur – Unsur Identitas Nasional
Identitas
Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Ke-majemukan itu
merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa,
agama, kebudayaan,dan bahasa.
Suku Bangsa:
adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir),
yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia
terdapat banyak sekali suku bangsa atau kclompok etnis dengan tidak kurang 300
dialek bahasa.
Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama
yang tumbuh dan berkembang di Nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak
diakui sebagai agama resmi negara, tetapi sejak pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
Kebudayaan: adalah pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau
model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh
pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi
dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk
kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
Bahasa:
merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai
sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan
manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia. Dari
unsur-unsur identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3
bagian sebagai berikut:
1. Identitas
Fundamental, yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan
ldeologi Negara.
2. Identitas
Instrumental, yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia,
Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya".
3.
Identitas Alamiah yang meliputi
Negara Kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, serta
agama dan kepercayaan (agama).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pencarian
identitas nasional bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan
perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan Negara dengan konsep
nama Indonesia. Bangsa dan Negara Indonesia ini dibangun dari unsur-unsur
masyarakat lama dan dibangun menjadi suatu kesatuan bangsa dan Negara dengan
prinsip nasionalisme modern. Oleh karena itu, pembentukan identitas nasional
Indonesiamelekat erat dengan unsur-unsur lainnya, seperti sosial, ekonomi,
budaya, etnis, agama serta geografis, yang saling berkaitan dan terbentuk
melalui suatu proses yang cukup panjang.
2. Saran
Demikianlah
makalah ini kami susun, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Dalam
penulisan ini kami sadari masih banyak kekurangan, saran dan kritik yang
membangun sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah kami ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Zubaidi,M.Si,Achmad.2007.Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan
Tinggi.Yogjakarta:Paradigma
Syarbani
Syahrial, Wahid Aliaras. 2006; Membangun Karakter dan
Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan, UIEU – University Press
Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan, UIEU – University Press
2009; Kompetensi
Demokrasi yang Beradab melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/30/ memerangi-pengikisan-
identitas-nasional/
http://fisip.untirta.ac.id/teguh/?p=45
http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/30/ memerangi-pengikisan-
identitas-nasional/
http://fisip.untirta.ac.id/teguh/?p=45
Manusia dan Peradaban
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang mempunyai akal, jasmani dan rohani. Melalui
akalnya manusia dituntut untuk berfikir menggunakan akalnya untuk menciptakan
sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun untuk orang
lain. Melalui jasmaninya manusia dituntut untuk menggunakan fisik atau jasmaninya melakukan sesuatu yang sesuai dengan fungsinya dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dan melalui
rohaninya manusia dituntut untuk senantiasa dapat mengolah rohaninya yaitu
dengan cara beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Antara manusia dan peradaban mempunyai hubungan yang sangat erat karena
diantara keduanya saling mendukung untuk menciptakan suatu kehidupan yang
sesuai kodratnya. Suatu peradaban timbul karena ada yang menciptakannya yaitu
diantaranya ada faktor manusianya yang melaksanakan peradaban tersebut.
Suatu peradaban mempunyai wujud, tahapan
dan dapat berevolusi atatu berubah sesuai
dengan perkembangan zaman. Dari peradaban pula dapat mengakibatkan suatu
perubahan pada kehidupan sosial. Perubahan ini dapat diakibatkan karena
pengaruh modernisasi yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat yang beradab dapat diartikan
sebagai masyarakat yang mempunyai sopan santun dan kebaikan budi pekerti.
Ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia
beradab dan dalam pengertian lain adalah suatu kombinasi yang ideal antara
kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Perkembangan dunia IPTEK yang demikian mengagumkan itu
memang telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat
manusia. Jenis – jenis pekerjaan
yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah
bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis, demikian juga ditemukannya formulasi – formulasi baru
kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia
dalam berbagai bidang ilmu dan aktifitas manusia.
1.2.Rumusan Masalah
Bermula dari latar belakang
di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah :
1.
Bagaimana hakekat adab dan
peradaban?
2.
Bagaimana hakekat manusia sebagai
mahluk beradab dan masyarakat adab?
3.
Bagaimana evolusi budaya dan tahap –
tahap peradaban?
4.
Bagaimana wujud peradaban?
5.
Bagaimana
problematika peradaban
dalam kehidupan
masyarakat?
1.3.Tujuan
Dalam
penyusunan makalah ini, tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Megetahui
hakekat adab dan peradaban.
2. Mengetahui
hakekat manusia sebagai mahluk beradab dan masyarakat adab.
3. Mengetahui
evolusi budaya dan tahap – tahap peradaban.
4. Mengetahui
wujud peradaban
5. Mengeteahiu problematika
peradaban
dalam kehidupan
masyarakat
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1. Hakikat Adab dan Peradaban
Dalam
bahasa Inggris Civilization, sering dipakai untuk menunjukkan pendapat
dalam penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Berasal dari kata adab
yang artinya sopan. Tinggi rendahnya suatu bangsa dipengaruhi oleh faktor
kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan pendidikan. Kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan menjadikan bangsa dianggap lebih maju dari bangsa lain pada
zamannya.
Menurut
Damono, sebagaimana dikutip oleh Okman Sukmana, kata “adab” berasal dari bahasa
Arab yang berarti akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekerti.[1]
Sesungguhnya
adab yang berarti kesopanan dan kehalusan budi pekerti berhubungan erat dengan
konsep – konsep yang berwujud nilai moral, norma, etika, dan estetika.
Jika
manusia dalam kehidupannya telah menyandarkan diri pada konsep – konsep nilai
tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa “manusia tersebut adalah sebagai
makhluk yang beradab”, yang menjalani kehidupannya dengan penuh akhlak atau
kesopanan dan kehalusan budi pekertinya.
Sedangkan
“peradaban”, menurut Fairchild, sebagaimana dikutip oleh Omana Sukmana, adalah
perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang diperoleh
manusia pendukungnya.[2]
Kemudian
menurut pendapat Bierens De Hann, yang mempertentangkan pengertian kebudayaan
dan peradaban sebagai berikut, peradaban adalah seluruh kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan teknik. Jadi, peradaban adalah bidang kehidupan untuk
kegunaan yang praktis, sedngkan kebudayaan ialah sesuatu yang berasal dari
hasrat dan gairah yang lebih dan murni yang berada diatas tujuan yang praktis
hubungan kemasyarakatan. Sementara itu, Prof. Dr. Koentjaraningrat, memnyatakan
bahwa peradaban ialah bagian – bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti
kesenian.[3]
Masyarakat
telah mencapai tahap kebudayaan tertentu dan telah maju berarti masyarakat
tersebut telah mencapai tingkat peradaban tinggi yang bercirikan penguasaan
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan lain – lain.
Peradaban
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagian – bagian atau
unsur kkebudayaan yang dianggap halus, indah, dan maju. Misalnya perkembangan
kesenian, IPTEK, kepandaian manusia, dan sebagainya dimana tiap bangsa didunia
memiliki karaktter kebudayaan yang khas, maka tak heran bila sebuah negara
hanya unggul IPTEK-nya saja atau keseniannya saja.
Konsep
peradaban tidak lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat
tertentu yang tercermin dalam tingkkat intelektual, keindahan, teknologi,
spiiritual yang terlihat dalam masyarakatnya. Kebudayaan merupakan kelanjutan
yang bertahap kearah yang semakin kompleks. Dimana unsur – unsur kebudayaan
terintegrasi menjadi satu sistem budaya dan memiliki keterkaitan antara ketujuh
unsur kebudayaan universal yaitu sistem teknologi, peralatan, sistem mata
pencaharian, organisme, sosial, religi dan bahasa.
Dengan
demikian, peradaban tidak lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah
mencapai tingkat tertentu yang dicirikan oleh taraf intelektual, kekindahan,
teknologi, dan spiritual tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya. Taraf
kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu
tercermin pada pendukungnya yang dikatakan sebagai beradab atau mencapai
peradaban yang tinggi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pendapat
koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Nursyid Sumaatmaja, sebagai berikut :
Di
samping istilah “kebudayaan” ada pula istilah “peradaban”. Hal yang terakhir
adalah sama dengan istilah civilization, yang biasanya dipakai untuk
menyebutkan bagian – bagian dan unsur – unsur dari kebudayaan yang halus, maju,
dan indah, seperti misalnya : kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun
pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Istilah
“peradaban” sering dipakai untuk menyebutkan suatu kebudayaan yang mempunyai
sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem
kenegaraan dan masyarakat maju dan kompleks.[4]
Dengan
demikian, peradaban adalah merupakan tahapan tertentu dari kebudayaan
masyarakat tertentu pula, yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan
oleh tingkat ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju.
Suatu
masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah
mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada tahap tetentu
yang diakui oleh tingkat IPTEK dan unsur – unsur budaya lainnya. Dengan
demikian, masyarakat tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses perubahan
sosial yang berarti, sehingga taraf kehidupannyasemakin kompleks. Atau dengan
kata lain telah memasuki tahapan atau tingkatan peradaban tertentu.
2.2. Hakikat Manusia Sebagai Mahluk beradab dan Manusia
Adab
manusia
disamping sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk
sosial budaya, dimana saling berkaitan satu sama lain. Sebagai mahluk Tuhan,
manusia memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada sang Kholik, sebagai mahluk
individu manusia harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai mahluk
sosial budaya harus hidup berdampingan dengan manusia atau orang lain dalam
kehidupan yang selaras dan saling membantu.
Pada
hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia yang lain, sesuai
dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan bantuan manusia
lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lalin tersebut, sehingga dengan
demikian manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai
tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain, agar dapat melangsungkan
hidupnya dalam masyarakat tersebut. Tanggung jawab adalah sesuatu yang menjadi
keharusan untuk dilaksanakan. Kalau terjadi sesuatu maka orang yang dibebani
tanggung jawab tersebut wajib menanggung segala sesuatunya. Oleh karena itu,
manusia yang bertanggung jawab ialah manusia yang dapat menyatakan bahwa
tindakannya itu baik dalam arti menurut norma umum.
Dalam
kehidupannya manusia pasti dihadapkan dalam berbagai masalah, hambatan,
tantangan, dan gangguan dalam upaya mencapai cita – cita hidup atau tujuan
hidupnya. Sebagai mahluk yang mempunyai keinginan mencapai cita – cita yang
akan memimpin kepada kebaikan dan keselamatan baik pribadi maupun orang lain,
harus memiliki pandangan hidup yang teguh dan tak tergoyahkan oleh kedaan
apapun.
Didalam
mengadakan interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu yang
lainnya atau bahkan dengan masyarakat sekitarnya, maka individu atau orang
tersebut harus menjunjung tinggi tenggang rasa, tepo seliro, saling asih, asuh,
dan asah. Dengan demikian manusia semua mampu menunjukkan bahwa ada guna dan
mampu menunjukkan fungsi masing – masing.
Hidup
sebenarnya merupakan kodrat dari setiap manusia, dan barangkali siap
dibayangkan apabilamasih ada manusia yang hidup sendirian. Sebab di tengah –
tengah kehidupan bersama itu justru manusia dapat mengembangkan kemanusiaannya,
disitu pula ada aturan – aturan, norma – norma, adat istiadat, ugeran dan
wejangan yang harus ditaati, yang kesemuanya itu turut membentuk citra pikiran,
pola dan tindakan dari semua manusia.
Untuk
menjadi mahluk yang beradab, manusia harus senantiasa menjujung tinggi aturan –
aturan, norma – norma, adat istiadat, ugeran dan wejangan atau nilai – nilai
kehidupan yang ada dimasyarakat yang diwujudkan dengan manaati berbagai pranata
sosial atau aturan sosial, sehingga dalam kehidupan di masyarakat itu akan
tercipta ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian. Dan nilah
sesungguhnya makna hakiki sebagai manusia beradab.[5]
Konsep
masyarakat adab dalam pengertian yang lain, adalah seuatu kombinasi yang ideal
antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
2.3. Evolusi Budaya dan Tahapan – Tahapan Peradaban
Evolusi
diajukan sebagai faktor kebudayaan pada sekitar pertengahan abad ke – 19 dan
dengan segera pula menjadi kategori budaya yang sangat populer. Mereka yang
menerapkan gagasan evolusi pada pertumbuhan kebudayaan tidak begitu melukiskan
proses yang sungguh – sungguh terjadi, melainkan hanya menyusun sebuah artificial
selection diantara ratusan peristiwa dan kejadian yang lalu diurutkan
mmenurut skema evolusi. Menurut JWM Baker SJ[6],
mereka tidak sampai menerangkan jalan kebudayaan dengan teori evolusi, tetapi
mencoba membuktikan evolusi dengan data budaya yang ada.
Proses
evolusi kebudayaan hanya dipandang dari jauh, yakni dengan mengambil jangka
waktu yang panjang, misalnya beberapa tahun yang lalu, maka akan menampakkan
perubahan – perubahan besar yang seolah menentukan arah (directional)
dari sejarah perkembangan kebudayaan yang bersangkutan. Perubahan – perubahan
besar ini lalu menjadi perhatian utama dari para peneliti yang berupaya untuk
merekonstruksikan sejarah perkembangan dari seluruh umat manusia dan
kebudayaannya. Para peneliti pada umumnya merekonstruksi dengan menganalisa
sisa – sisa dari benda – benda hasil kebudayaan manusia jaman dahulu yang
antara lain digali dari dalam lapisan bumi diberbagai tempat.[7]
Sementara
itu terkait dengan tahapan – tahapan peradaban, Alfin Tolfer sebagaimana
dikutip oleh Oman Sukmana, menyatakan bahwa tahapan peradaban dapat dibagi atas
3 (tiga) tahapan, yaitu:[8]
1.
Gelombang
pertama sebagai tahap peradaban pertanian, dimana dimulai kehidupan baru dari
budaya meramu ke bercocok tanam (revolusi agraris).
2.
Gelombang kedua
sebagai tahap peradaban industri penemuan mesin uap, energi listrik, mesin
untuk mobil dan pesawat tterbang (revolusi industri).
3.
Gelombang ketiga
pada tahap perkembangab peradaban reformasi. Penemuan teknologi informasi dan
komunikasi (ICT) dengan komputer atau alat komunikasi digital.
Jhon
Naisbitt,[9]
mengemukakan bahwa era reformasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang
ditandai dengan beberapa indikator, yaitu:
1.
Masyarakat lebih
menyukai penyelesaian masalah secara kilat,
2.
Masyarakat takut
sekaligus memuja teknologi,
3.
Masyarakat
mengaburkan peradaban antara yang nyata dan yang semu,
4.
Masyarakat
menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar,
5.
Masyarakat
mencintai teknologi dalam bentuk mainan, dan
6.
Masyarakat
menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.
2.4. Wujud Peradaban
Peradaban
adalah wujud kebudayaan sebagai hasil kreatifitas manusia baik yang bersifat
materiil barupa benda – benda yang kasat mata dan dapat diraba maupun yang
bersifat non – materiil dalam bentuk nilai, norma, moral, etika dan estetika.
Yang
hendak diulas lebih lanjut dalam bagian iini adalah peradaban sebagai wujud
kebudayaan yang bersifat non – materiil, sebagai adat sopan santun pergaulan
dalan kehidupan bermasyarakat, yang sangat penting artinyan bagi manusia
sehingga dalam menjalani hidup dan kehidupan ini manusia senantiasa memegang
teguh nilai – nilai yang ada baik berupa moral, norma, etika dan estetika.
Menurut
Ki Hadjar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan
dan keburukan didalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak –
gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai
mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.[10]
Etika
adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya, meliputi perilaku yang
dianggap baik dan perilaku yang diangap tidak baik. Etika merupakan suatu
ajaran yang melakukan refleksi kritis atas norma ajaran moral. Tugas etika
adalah mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah laku manusia.
Secara
dikotomis ada etika deskriptif yang berusaha mengkaji secara kritis dan
rasional tentang sikap dan pola perilaku manusia, dan apa yang dikerjakan oleh
manusia dalam hidup sebagai sesuatu yang bernilai. Sedangkan etika normatif
adalah berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku yang ideal yang
seharusnya dimiliki oleh manusia.
Menurut
Th. L. Vanhoeven (dalam Oman Sukmana), norma berasala dari kata “normalis”,
yang bertarti menurut petunjuk, kaidah, kebiasaan, kelaziman, patokan, standar,
ukuran.[11]
Norma – norma yang ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang
berbeda – beda, yang dapat dirinci sebagai berikut:[12]
1. Folkways, yakni norma – norma
berdasarkan kebiasaan dalam tradisi, dan apabila dilanggar tidak ada
sanksinya, tetapi hanya dianggap aneh dan menjadi sasaran pembicaraan umum
saja. Contoh: tata cara berpakaian, tata cara makan, tata cara sopan santun,
dan sebagainya.
2. Mores (tata kelakuan), yakni
norma moral yang menentukan suatu kelakuan tergolaong benar atau salah, baik
atau buruk. Norma – norma atau kaidah – kaidah tersebut sebetulnya bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasar masyarakat. Perbuatan yang melanggar
mores biasanya dikenakan sanksi. Jadi individu yang melanggar mores akan
dihukum.
Manusia
sebagai makhluk sosial dan mahluk berbudaya pada dasarnya dipengaruhi oleh
nilai – nilai kemanusiaan, dimana nilai tersebut erat hubungannya dengan
moralitas. Moral adalah nilai – nilai dalam masyarakat dalam hubungannya dengan
kesusilaan. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus
hidup secara baik sebagai manusia, dan sekaligus merupakan petunjuk kongkrit
yang siap pakai tentang bagaimana seseorang itu harus hidup.
Jika
manusia dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan
bernegara, mampu menegakkan dan selalu berpegang teguh pada nilai – nilai
kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, sehingga pada gilirannya tercipta
adanya kedilan, ketentraman dan kesejahteraan, maka inilah sebagai wujud dari
masyarakat bermoral, dan sebaliknya akan terjadi dekadensi moral.
Selanjutnya
terkait dengan estetika, sebagaimana diketahui bahwa dalam realitas budaya
pengembangab kebudayaan dikembangkan melalui nilai – nilai estetika yang tidak
terlepas dari nilai – nilai moral, etika, norma dan hukum yang berlaku.
Secara
etimologis istilah “estetika” berarti “teori tentang ilmu penginderaan”. Tetapi
kemudian diberi pengertian yang dapat diterima lebih luas ialah “teori tentang
keindahan dan seni.”[13]
Manusia
memiliki sensibilitas estetis, karena itu manusia tak dapat dilepaskan dari
keindahan. Manusia membutuhkan keindahan dalam kesempurnaan (keutuhan)
pribadinya. Tanpa estetika ini, kemanusiaan tidak lagi mempunyai perasaan dan
semua kehidupan akan menjadi steril. Demikian eratnya kehidupan manusia dengan
keindahan, maka banyak para ahli/cendekiawan mengadakan studi khusus tentang
keindahan. Melalui panca inderanya, manusia dapat merasakan sesuatu. Apabila
manusia merasakan akan sesuatu itu menyenangkan atau menggembirakan dan
sebagainya, timbul perasaan puas. Demikian juga kepuasan timbul setelah
seseorang melihat atau merasakan sesuatu yang indah. Rasa kepuasan itu lahir
setelah perasaan keindahan yang ada pada setiap orang itu bangkit. Tiap – tiap
orang memiliki perasaan keindahan (kepekaan keindahan), yaitu kemampuan
terpesona, tergerak oleh ciptaan yang indah, tidak acuh tak acuh, tetapi
mengambil sikap (senang atau tidak senang).
2.5. Problematika Peradaban dalam Kehidupan Masyarakat
1. Kemajuan
IPTEK Bagi Peradaban Manusia
Secara harfiah teknologi dapat
diartikan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya
adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan
akal dan alat.
Sedangkan menurut Jaques Ellul
(1967: 1967 xxv) memberi arti teknologi sebagai” keseluruhan metode yang secara
rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan
manusia”Pengertian teknologi secara umum adalah: proses
yang meningkatkan nilai tambah, produk yang
digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja, Struktur atau sistem
di mana proses dan produk itu dikembamngkan dan
digunakan
Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita
hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai
dengan kemajuanm ilmu pengetahuan. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai
cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Namun demikian, walaupun pada
awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi lain juga juga
memungkinkan digunakan untuk hal negatif.
2.
Dampak Globalisasi Bagi Peradaban Manusia
Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap
perkembangan budaya bangsa Indonesia . Derasnya arus informasi dan
telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap
memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (Transportasi,
Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya keinginan untuk
melestarikan budaya negeri sendiri . Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah,
gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, misalnya pergaulan bebas.
Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah
tersebut semakin lenyap di masyarakat. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah
tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang
menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat
menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya. Hal lain
yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa indonesia
yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa).
Beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya
pergeseran kebudayaan/peradaban yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi,
diantaranya yaitu :
a.
Pemerintah perlu mengkaji ulang
peraturan-peraturan yang dapat menyebabkan pergeseran budaya bangsa.
b.
Masyarakat perlu berperan aktif dalam pelestarian
budaya daerah masing-masing khususnya dan budaya bangsa pada umumnya.
c.
Para pelaku usaha media massa perlu mengadakan
seleksi terhadap berbagai berita, hiburan dan informasi yang diberikan agar
tidak menimbulkan pergeseran budaya.
d.
Masyarakat perlu menyeleksi kemunculan
globalisasi kebudayaan baru, sehingga
budaya yang masuk tidak merugikan dan berdampak negative.
e.
Masyarakat harus berhati-hati
dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sehingga pengaruh globalisasi di
negara kita tidak terlalu berpengaruh pada kebudayaan yang merupakan jati diri
bangsa kita.
BAB
III
STUDI
KASUS
Sebenarnya
kesadaran murni manusia dalam menuntut hak tidak pernah berhenti, segala daya
upaya telah pula dilaksanakan. Di pihak lain dapat pula diketahui, bahwa ada
beberapa tindakan manusia yang erat hubungannya dengan manusia hak, mereka
ingin melepaskan diri dari keadaan yang dianggapnya tidak sesuai dengan
perasaan keadilannya. Bahkan tindak tanduk mereka justru dianggapnya paling
benar dan bijaksana, terlepas dari apakah mereka telah berputus asa atau tudak
dalam menuntut hak dan memperoleh keadilan ini, yang jelas tingkah laku
tersebut dilakukannya sebagai jalan keluar dari masalah tersebut.
Terjadinya
peristiwa manusia yang tidak makan (mogok makan) dalam waktu tertentu, dan
adanya pembelotan – pembelotan dari warga itu sendiri dengan berbagai dalil dan
alasan mereka sebagai aksi protes karena terjadi ketidakadilan. Mereka merasa
adanya kekangan – kekangan hidup dan adanya pembatasan yang ketat terhadap
beberapa hak yang kiranya harus diperhatikan dalam kehidupan mereka sehari –
hari, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara.
Semua
kejadian tersebut, sebenarnya berpangkal dari adanya sebuah keinginan
kesempurnaan hidup. Hidup baru dikatakan sempurna apabila semua hak – hak yang
dimiliki oleh manusia mendapat perhatian penuh. Dalam suatu masyarakat yang
adil, setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya dianggap
paling cocok bagi setiap orang tersebut, yang tentunya perlu adanya keselarasan
dan keharmonisan.
Namun
demikian keinginan manusia untuk mewujudkan keinginannya atau haknya sebagai
salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan hidup, tidaklah boleh dilakukan secara
berlebihan atau bahkan merugikan manusia lain. Dengan kata lain manusia dalam
menggunakan hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya tidak boleh melampaui
batas atau merugikan kepentingan manusia lain. Sebagai suatu anggota masyarakat
yang beradab manusia harus bisa menciptakan adanya keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Jadi perlu adanya suatu kombinasi
yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
BAB
IV
ANALISA
DAN KESIMPULAN
Peradaban
adalah merupakan tahapan tertentu dari kebudayaan masyarakat tertentu pula,
yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju.
Suatu
masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah
mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada tahap tetentu
yang diakui oleh tingkat IPTEK dan unsur – unsur budaya lainnya. Dengan
demikian, masyarakat tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses perubahan
sosial yang berarti, sehingga taraf kehidupannyasemakin kompleks. Atau dengan
kata lain telah memasuki tahapan atau tingkatan peradaban tertentu.
Untuk
menjadi mahluk yang beradab, manusia harus senantiasa menjujung tinggi aturan –
aturan, norma – norma, adat istiadat, ugeran dan wejangan atau nilai – nilai kehidupan
yang ada dimasyarakat yang diwujudkan dengan manaati berbagai pranata sosial
atau aturan sosial, sehingga dalam kehidupan di masyarakat itu akan tercipta
ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian. Dan inilah sesungguhnya
makna hakiki sebagai manusia beradab.
Konsep
masyarakat adab dalam pengertian yang lain, adalah seuatu kombinasi yang ideal
antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Proses
evolusi kebudayaan hanya dipandang dari jauh, yakni dengan mengambil jangka
waktu yang panjang, misalnya beberapa tahun yang lalu, maka akan menampakkan
perubahan – perubahan besar yang seolah menentukan arah (directional)
dari sejarah perkembangan kebudayaan yang bersangkutan. Perubahan – perubahan
besar ini lalu menjadi perhatian utama dari para peneliti yang berupaya untuk
merekonstruksikan sejarah perkembangan dari seluruh umat manusia dan
kebudayaannya. Para peneliti pada umumnya merekonstruksi dengan menganalisa
sisa – sisa dari benda – benda hasil kebudayaan manusia jaman dahulu yang antara
lain digali dari dalam lapisan bumi diberbagai tempat.
Jika
manusia dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan
bernegara, mampu menegakkan dan selalu berpegang teguh pada nilai – nilai
kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, sehingga pada gilirannya tercipta
adanya kedilan, ketentraman dan kesejahteraan, maka inilah sebagai wujud dari
masyarakat bermoral, dan sebaliknya akan terjadi dekadensi moral.
Manusia
memiliki sensibilitas estetis, karena itu manusia tak dapat dilepaskan dari
keindahan. Manusia membutuhkan keindahan dalam kesempurnaan (keutuhan)
pribadinya. Tanpa estetika ini, kemanusiaan tidak lagi mempunyai perasaan dan
semua kehidupan akan menjadi steril. Demikian eratnya kehidupan manusia dengan
keindahan, maka banyak para ahli/cendekiawan mengadakan studi khusus tentang
keindahan. Melalui panca inderanya, manusia dapat merasakan sesuatu. Apabila
manusia merasakan akan sesuatu itu menyenangkan atau menggembirakan dan
sebagainya, timbul perasaan puas. Demikian juga kepuasan timbul setelah
seseorang melihat atau merasakan sesuatu yang indah. Rasa kepuasan itu lahir
setelah perasaan keindahan yang ada pada setiap orang itu bangkit. Tiap – tiap
orang memiliki perasaan keindahan (kepekaan keindahan), yaitu kemampuan terpesona,
tergerak oleh ciptaan yang indah, tidak acuh tak acuh, tetapi mengambil sikap
(senang atau tidak senang).
DAFTAR
PUSTAKA
Bakker
SJ, JWM, 1984, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Pustaka Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta.
Koentjaraningrat,
1974, Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta
Nursyid
Sumaatmadja, 2002, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Alfabeta, Bandung.
Sukamana,
Oman, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Diktat Kuliah, Universitas
Muhammadiyah Malang.
Suratman,
2009, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Materi Kuliah, Universitas Ialam Malang.
[1]
Oman sukmana, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (manusia dan peradaban)
Diktat Kuliah, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah
Malang, 2008, halaman 2
[2]
Ibid., dan lihat pula dalam Nursyid Sumaatmadja, Pendidikan
Pemanusiaan, Manusia dan Manusiawi, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2002,
halaman 67
[4]
Nursyid Sumaatmaja, loc.cit.
[5]
Suratman, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Manusia dan Peradaban), Hand
Out, Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang
(Unisma), 2009, halaman 6
[7]
Koentjaraningrat, op.cit., halaman 137 – 138
[8]
Alvin Tolfer dalam Oman Sukmana, op.cit., halaman 5
[9]
Ibid., halaman 11
[11]
Ibid, halaman 8
[12]
Koentjaraningrat, op.cit., halaman 84 - 85
[13]
M. Habib Mustopo, op.cit., halaman 102
Langganan:
Postingan (Atom)